TDL 2025: Balap Sepeda atau Balap Pencitraan ?
Kuningan, (PK) – Tour de Linggarjati (TDL) 2025 kembali digelar dengan meriah. Panitia mencatat 381 pembalap dari 12 negara ikut serta, termasuk 45 pebalap mancanegara. Agenda fun bike juga menarik sekitar 1.500 peserta, dengan lintasan yang membentang di 17 kecamatan, panjang 30,7 km hingga 111 km. Total hadiah yang diperebutkan mencapai Rp164 juta, meningkat hampir dua kali lipat dari edisi sebelumnya sebesar Rp86 juta.
Namun, di balik sorotan meriah, catatan kelam sulit diabaikan. Berdasarkan data lapangan, sedikitnya 62 peserta mengalami insiden selama dua hari penyelenggaraan—terdiri dari 26 peserta balap utama, 10 peserta fun bike, dan 27 peserta kriterium. Sebagian besar hanya luka ringan, tetapi 6 orang mengalami cedera sedang hingga serius dan harus dirujuk ke RSUD 45 Kuningan. Salah satunya S.A. (15), peserta asal Bogor, yang menabrak pohon bambu hingga mengalami luka di bagian perut. Insiden lain juga menimpa Z. asal Ciamis, sementara seorang tenaga medis kolaps akibat serangan jantung ketika bertugas. Situasi darurat ini kian diperparah dengan keterbatasan tenaga kesehatan dan minimnya alokasi anggaran medis, sehingga penanganan insiden berlangsung lamban. Deretan peristiwa ini menegaskan lemahnya rambu keselamatan, minimnya jalur darurat, dan kurangnya kesiapan teknis panitia.
Janji dampak sosial-ekonomi juga tak sepenuhnya terbukti. Mayoritas warga hanya menjadi penonton pasif, sementara pedagang kecil serta PKL Car Free Day justru mengeluhkan omzet menurun akibat pembatasan area. Kemacetan panjang di jalur lintasan menyisakan keluhan masyarakat, karena mobilitas harian mereka terganggu. Data BPS pun menunjukkan bahwa tingkat hunian hotel di Kuningan semester I 2025 masih fluktuatif: April 32,23%, Mei 28,44%, dan Juni 30,68%—tanpa lonjakan signifikan pasca-TDL. Klaim panitia soal peningkatan pariwisata pun masih diragukan.
Lebih ironis lagi, sejumlah ruas jalan di lintasan TDL diperbaiki terburu-buru menjelang lomba, seolah hanya untuk kepentingan seremonial. Di sisi lain, banyak ruas jalan vital lain yang rusak tetap dibiarkan, padahal krusial untuk menunjang mobilitas ekonomi masyarakat. Kondisi ini memperkuat kesan bahwa TDL lebih menekankan pencitraan sesaat ketimbang menjawab kebutuhan dasar warga.
Dalih bahwa TDL tidak menggunakan dana APBD juga tidak dapat menjadi pembenaran, sebab dampak sosial, keselamatan, dan ketidakadilan ekonomi tetap ditanggung masyarakat.
“Diperlukan kajian kritis dan objektif serta persiapan matang agar TDL tidak hanya menjadi ajang pencitraan. TDL semestinya berpihak pada masyarakat, memberi dampak nyata bagi ekonomi lokal, sekaligus menjamin keselamatan semua pihak,” tegas Yudi Setiadi, Aktivis Masyarakat Peduli Kuningan.
Masyarakat menekankan bahwa TDL perlu pembenahan serius. Dengan kajian mendalam, persiapan matang, serta keberpihakan nyata kepada masyarakat, TDL bisa menjadi kebanggaan sekaligus berkah bagi Kuningan—bukan sekadar tontonan tahunan yang menyisakan kemacetan, keluhan, cedera, ketimpangan, dan tenaga kesehatan yang harus bekerja di bawah tekanan dengan minim anggaran.
(AY).
Posting Komentar