Darurat Ekologi dan Krisis Sosial Mengancam TNGC, LSM Frontal Desak Negara Bertindak Tegas
KUNINGAN, pemudakuningan.id – Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam beberapa pekan terakhir dinilai bukan sekadar musibah alam, melainkan alarm keras kegagalan tata kelola lingkungan hidup nasional. Kerusakan hutan primer, degradasi daerah aliran sungai (DAS), serta ekspansi izin ekstraktif disebut telah meruntuhkan fungsi ekologis vital dan memicu krisis kemanusiaan di berbagai daerah.
Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, menegaskan bahwa kondisi tersebut harus dibaca sebagai sinyal darurat nasional lingkungan. “Ratusan ribu warga mengungsi, korban jiwa berjatuhan, infrastruktur hancur, dan ekonomi lumpuh. Ini bukan kebetulan alam, tetapi akibat keputusan kebijakan yang salah dan dibiarkan bertahun-tahun,” ujarnya, Jumat (19/12/2025).
Menurut Uha, ancaman krisis lingkungan tidak hanya terjadi di Sumatera. Kawasan timur Indonesia kini menghadapi peningkatan risiko badai tropis dan cuaca ekstrem akibat pemanasan suhu permukaan laut. Ia menilai negara gagal menyiapkan mitigasi risiko berbasis sains, transparansi hukum, dan partisipasi publik.
Regulasi Kuat, Implementasi Lemah
Indonesia sebenarnya telah memiliki payung hukum kuat melalui UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Undang-undang ini menjamin hak konstitusional warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diamanatkan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Namun dalam praktiknya, Uha menilai hukum lingkungan kerap “diamputasi” oleh kepentingan perizinan dan oligarki ekonomi. “Kasus kebakaran hutan berulang, tetapi korporasi besar banyak yang lolos atau hanya dikenai sanksi administratif ringan. Ini kegagalan penegakan hukum,” tegasnya.
Padahal, sejumlah putusan pengadilan telah menunjukkan bahwa hukum dapat berjalan tegas dan progresif. Di antaranya, Putusan MA No. 1/P/HUM/2017 terkait keterbukaan dokumen lingkungan, putusan kasus PT Kallista Alam di Rawa Tripa Aceh dengan denda Rp366 miliar, serta putusan gugatan warga negara atas polusi udara di DKI Jakarta yang menyatakan pemerintah lalai memenuhi kewajiban konstitusional.
TNGC dalam Ancaman Serius
Uha secara khusus menyoroti kondisi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) yang memiliki luas sekitar 15.000 hektare dan menjadi kawasan konservasi strategis di Jawa Barat. Gunung Ciremai yang berada di wilayah Kabupaten Kuningan dan Majalengka merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat dengan ketinggian 3.078 mdpl.
Ia mencontohkan adanya Surat Peringatan Ketiga (SP-3) dari Kementerian Kehutanan kepada PAM Tirta Kamuning bernomor S.480/KSDAE/PJL/KSA.04/11/2025 tertanggal 17 November 2025. Dalam surat tersebut ditegaskan bahwa karena belum dipenuhinya kewajiban perizinan di kawasan konservasi hingga batas waktu 17 Desember 2025, maka dikenakan sanksi penghentian seluruh kegiatan operasional.
“Sanksi ini menunjukkan bahwa persoalan pengelolaan TNGC nyata dan serius. Jika pembangunan di sekitar kawasan terus dibiarkan tanpa kontrol, konflik sosial dan kerusakan ekologis tinggal menunggu waktu,” katanya.
Tujuh Agenda Mendesak
LSM Frontal mendesak pemerintah pusat dan daerah segera mengambil langkah tegas untuk menyelamatkan TNGC dan kawasan rawan ekologis lainnya. Setidaknya ada tujuh agenda mendesak yang harus segera dilakukan, yakni:
1. Keterbukaan total dokumen lingkungan dan izin konsesi berbasis digital publik
2. Penegakan hukum strict liability tanpa kompromi
3. Moratorium izin ekstraktif di wilayah berisiko tinggi ekologis
4. Pemulihan DAS sebagai prioritas nasional
5. Perencanaan tata ruang berbasis risiko bencana dan perubahan iklim
6. Pembentukan lembaga pengawasan lingkungan independen di luar struktur politik
7. Pendidikan dan partisipasi publik sebagai kontrol sosial
“Negara tidak boleh diam. Jika transparansi hukum terus diabaikan, hukum hanya akan menjadi dekorasi, sementara rakyat selalu menjadi korban terakhir,” tandas Uha.
Ia menutup dengan peringatan keras bahwa kegagalan negara melindungi hak rakyat atas lingkungan hidup yang sehat bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan pelanggaran konstitusi dan kejahatan terhadap generasi mendatang.
.AY

Posting Komentar